Selasa, 15 Februari 2022

Salah!

Satu hal yang tidak luput dari organisme yang ada, dari sel tunggal hingga multisel seperti kita, manusia adalah berbuat salah. Bobot bisa berbeda-beda, namun soal rasa, bisa dibilang semua sama. Ingatkah anda saat kecil melakukan hal sepele mungkin, namun detak jantung berdebar kencang seakan ingin meledak. Padahal, jika anda ingat lagi saat ini, kesalahan itu mungkin jadi lelucon ataupun hal konyol semata. Bagi pelaku, kesalahan selalu diperdebatkan. Moralnya berkata menyesal, harga dirinya sibuk mencari pembelaan. Dua hal itu bertengkar bagai 2 pengacara yang sedang mewakili kliennya. Tiap babak muncul pemenang yang bergantian. Bisa juga tidak muncul pemenang manapun. Moral dengan tekanan sosial berusaha untuk membuat harga diri menyerah dan berlutut. Harga diri menggunakan segala macam alasan dan menormalisasikan emosi sebagai tamengnya, yaitu "Khilaf". Terdengar sangat membosankan, namun setiap harinya, didalam diri selalu ada perang antar kubu ini. Harga diri menjadikan orang merasa sedap dipandang. Harga yang selangit direkayasa untuk memperdaya lingkungan akan kualitas dirinya. Harga diri yang rendah juga banyak dipasaran. Bergeletak diobral dipinggir keramaian. Takut akan omongan sekitar, jadi rela diborong oleh komunitas yang dominan. Penyesalan selalu dibelakang. Setelah bertahun-tahun diam, lama-lama merusak kualitas dirinya sendiri. Moral, ini sih sebuah kata yang sulit. Bisa ada satu gedung penuh buku yang bercerita tentang moral. Ceritanya pun beragam, dari berbagai macam latar belakang, pengalaman, khalayan bahkan punya kontribusi besar juga untuk membuat batasan moral. Manusia hidup dengan pedoman moralnya, yang mengasumsikan moral mahluk hidup lainnya kosong. Kesalahan memang bukan akhir dari segalanya, namun banyak kesalahan yang mengakhiri hidup, mimpi, harapan bahkan karakter seseorang. Kesalahan bisa membuat orang berubah atau mungkin membuka awal baru. Dengan banyaknya argumen disekitar kita yang menunggu kesalahan terjadi, pertempuran moral dan harga diri kini terbawa hingga ke pihak lain. Orang-orang yang merasa bertanggung jawab, tersinggung, bahkan bisa sampai ke personal, ikut memperdebatkan kesalahan orang lain. Mereka merasa menjalankan fungsi masyarakat yang punya hak khusus untuk ikut campur. Jangan harap kesalahan bisa ditutupi. Dunia seperti katalog 24 jam sekarang. Apapun bisa menjadi konten sebuah media. Saat ini, publik tergila-gila akan kesalahan. Bad news is a good news. Semua topik berujung mencuatkan kesalahan. Salah aturan, salah perilaku, salah paradigma bahkan sampai salah paham pun menjadi primadona. Hal baik seakan cuma euforia semata, tapi kesalahan adalah corong menuju bencana. Kesalahan memang tidak bisa dihindari secara mutlak. Mungkin meminimalisir, tapi untuk tidak mengenalnya adalah pilihan yang keliru. Kita perlu mengenal kesalahan. Kita tidak perlu takut untuk berhadapan dengannya. Kesalahan akan membawa kita ke titik yang saat ini kita pijak. Kesalahan akan membantu kita merespon peluang dimasa depan. Jangan takut salah. Yang mengerikan adalah tidak tahu kesalahan kita. Menghipnotis kita serasa dijalan terbaik. Disaat yang sama menuntun kita ke jurang penyeselan.

Minggu, 22 Januari 2012

Bunga Malam

Mimpi itu menyenangkan. Setiap harapan kita bisa dikabulkan didalamnya. Tak perlu usaha atau bermodal materi. Tak perlu keringat maupun setumpuk uang. Hal yang sudah sirna bisa kembali nyata. Khayalan akan seperti fakta.

Mimpi itu menyeramkan. Diawali dengan terpenuhinya semua keinginan. Terlarut dan mabuk dalam fantasi. Lalu, terbangun dan tersadar akan kebenaran. Apa yang baru saja kita rasakan ternyata tidak berlaku pada dunia nyata.

Bisa saja semangat ataupun puas. Bisa juga pesimis dan juga tertunduk malu. Efek bunga dari tidur yang tak kekal mekarnya.

1000 mimpi tak cukup penuhi lara. 1000 mimpi tidak perlu ada. 1 mimpi yang menjadi kenyataan mungkin sudah cukup untuk menutup semuanya.

Rabu, 30 November 2011

Mencari hal yang baru atau memperbaiki yang sudah ada?

Dua pertanyaan ini menggangu saya belakangan hari ini. Hal baru vs Yang sudah ada. Setiap memilih salah satu jawaban diatas, akan terasa dilema.

Mencari hal yang baru bukanlah sesuatu yang bodoh, bahkan lebih terlihat visioner. Hal ini menunjukan ketidakpuasan kita yang disalurkan dengan usaha yang lebih giat. Tapi, ketidakpuasan ini juga bisa jadi bumerang. Ketidakpuasan yang tidak berujung akan mendorong kita menjadi seseorang yang tidak bersyukur. Hal ini bertentangan dengan jika kita lebih memilih sesuatu yang sudah ada dan memperbaikinya agar lebih baik. Dalam opsi ini kita dituntut untuk lebih bersyukur dengan sesuatu yang kita miliki.

Dari sudut pandang saya, dua hal tersebut adalah pasangan yang cocok. Dilihat dari sisi sosial, sesuatu yang sudah ada tidak akan bertahan jika hidup sendiri. Bagaimana cara membuatnya lebih baik jika hanya sendiri. Hal baru juga tidak akan efektif jika tidak memiliki dasar. Hal tersebut akan terlihat seperti mengumpulkan emas dan berlian kedalam kantong yang berlubang.

Saya rasa dua hal yang bersinggungan itu sebenarnya berdiri sejajar. Mereka dapat menciptakan sesuatu yang baru, baik, dan sesuai. Layaknya sikat gigi, yang kini memiliki teman baru berupa pasta gigi, penyegar mulut, pembersih lidah, dan hal-hal yang baru lainnya. Mereka menghasilkan sinergi menjadikan fungsi sikat gigi menjadi lebih maksimal. Menghasilkan lebih baik dengan hal baru juga dengan tetap bersyukur akan hal yang sudah ada.

hahaha, maaf jika analogi yang saya pilih agak sedikit aneh. Kita semua boleh menganalogikannya dengan apapun yang kita mau.

Minggu, 27 November 2011

Thought

I just realize that i am a loner. Poor loner.
My heart is too much of peace, too long of emptiness.

Selasa, 22 November 2011

Refleksi

Menang, kalah, buruk, baik, cepat, lambat, semua yang disebutkan diatas hanya penilaian dari 5 indera yang kita punya. Nilai, hanya sebuah turunan dari persepsi yang didukung oleh keyakinan. Nilai tidak selalu benar. Nilai juga tidak selalu salah. Bentuk ilusi yang terasa visual. Itulah nilai.

Gw lebih suka menilai diri sendiri daripada menilai orang lain, kenapa? karena cuma kita yang punya daftar negatif dan positif diri kita. Untuk sadar akan hal tersebut memang bukan perkara mudah, tapi seenggaknya lebih enak jika menjadikan diri sendiri sebagai bahan percobaan dibandingkan orang lain yang menjadi objeknya.

Ini nyata, kita selalu menyerap nilai dari apa yang orang lain miliki. Kita capai apa yang orang lain capai. Kita berharap apa yang orang lain harapkan. Kita seperti bayangan dari khayalan dan orang lain. Padahal, Kita bisa membuat nilai itu nyata untuk diri sendiri. Nyata untuk impian kita. Nyata untuk bisa kita rasakan.

Bukan hal bodoh jika kita mengikuti orang lain, menginginkan keinginannya, mengikuti gayanya, mencari apa yang dia cari. Hanya terasa ironis karena kita seharusnya bisa jadi diri sendiri.

Minggu, 06 November 2011

Bukan sejarah, bukan juga masa depan. Hanya lentera jiwa yang ingin bebas.

Waktu selalu dipandang relatif. Bilangan yang samar dimata manusia. Sepanjang jarum panjang bergerak, sependek pikiran berilusi. Setepat apapun waktunya, masih ada yang terlewatkan. Tumpukan kenyataan dan peristiwa yang menjadi kenangan, dianggap harta karun tak tergali. Sekali kenangan itu berakhir, tidak ada satupun yang dapat menggantinya. Proses kelahiran, tumbuh dan berkembang, belajar dan mencoba memahami hidup, berpikir, lalu mati. Kejadian tak tergantikan yang tersimpan entah sampai kapan.

Bukan cepatnya, atau lambatnya. Bukan besar atau kecilnya. Tapi tepat atau jujurkah kita pada diri kita dalam menggunakan waktu. Seiring dengan jalannya hidup, maka disitulah permainan berlangsung. Disaat kita sudah ada didalamnya, hanya perlu pilihan untuk menyelesaikannya atau mengganti permainannya. Dalam hal ini, bukan waktu yang menentukannya. Dalam hal ini, hati dan pikiranlah yang berperan besar.

Tidak ada yang sulit dan juga mudah. Dunia ini begitu ambigu hingga imajinasilah sebagai realitanya. Dosa dan pahala bisa bertukar dalam imajinasi. Hal itu juga berlaku pada kenyataan. Selama dunia ini masih ambigu dan akan terus ambigu hingga akhirnya, biarlah hati dan jiwa ini menentukan pilihannya. Bukan lagi waktu, pikiran, dan realita sebagai penghadangnya. Biarkan jiwa ini sedikit merasakan kebebasan sebelum direnggut paksa oleh kematian abadi.

Ikhlas

Tidak ada yang bersalah

Tidak perlu merasa bersalah

Tidak butuh menyesal

Dari semua tumpukan penyesalan

Hanya perlu keikhlasan

Karena hidup adalah pilihan