Selasa, 25 Oktober 2011

Life is so short. So?


Hari ini gw ingin sedikit bercerita tentang sesuatu yang ada di benak gw. Beberapa hari yang lalu gw lagi santai di rumah, karena hari itu memang hari minggu dan waktunya gw istirahat. Setiap hari minggu salah satu aktivitas yang gw suka adalah nonton. Salah satu tontonan favorit gw di hari minggu adalah siaran langsung MotoGP. Gw bukan pembalap, bawa motor aja ga bisa, Tapi sejak tahun 2005, waktu zamannya duel Valentino Rossi dan Sete Gibernau, gw jadi tertarik nonton balapan kelas tertingginya motor. Akhirnya gw jadi salah satu penggemar beratnya MotoGP. Setiap ada berita update soal olahraga satu ini, pasti ga akan gw lewatin. Gak terkecuali balapannya itu sendiri. Gw selalu menyempatkan diri untuk nonton langsung. Apes-apesnya sih ketiduran gara-gara nungguin iklannya yang bergandeng itu.

Di hari itu ada siaran langsung MotoGP di negeri tetangga kita, yaitu Malaysia. Harusnya sih di race kali ini udah ga begitu menegangkan, soalnya udah ketauan siapa juara dunianya. Ada yang berbeda pada race kali ini. Ga ada yang akan menyangka bahwa race kali ini bakal jadi race terakhirnya salah satu pembalap di arena MotoGP. gw yang saat itu menyaksikan langsung sedikit terhenyak disaat salah satu pembalap Honda, yaitu Simoncelli, kehilangan keseimbangan dan tertabrak oleh dua pembalap lainnya dari belakang. Dengan kecepatan yang tinggi itu gw ngerasa efek dari tabrakannya akan cukup parah. Red flag-pun dikibarkan, pertandingan dihentikan yang ujung-ujungnya juga harus dibatalkan karena belum adanya kepastian kabar tentang keselamatan Simoncelli. Acara siaran langsung MotoGP juga diakhiri dengan terpaksa. Dengan sigap gw tetep nunggu berita di twitter ataupun situs berita online tentang kondisi Simoncelli. Gak berapa lama ada pengumuman bahwa Marco Simoncelli dinyatakan meninggal dunia. "Jleb", itu yang gw rasain. Hidup bener-bener singkat banget. Seseorang yang ga pernah gw sangka meninggal, kehilangan nyawanya di depan mata gw. Tragis memang, tapi gw melihat sisi lain dari hal tersebut. Simoncelli yang notabene adalah pembalap, cinta sama balapan, pasti akan bahagia disana. Dia bener-bener hidup di arena yang dia cintai. Kehidupannya diakhiri ditempat yang dia banggakan, yaitu arena balap. Testimoni dari para pembalap semuanya bercerita tentang kesan-kesan terhadap Simoncelli dan sikapnya semsa dia hidup. Masa lalunya menjadi kenangan bagi para kerabat dan keluarganya. Kini sejarah tentang Simoncelli lebih berharga daripada ekspektasi orang-orang terhadapnya. Mereka menyanjung setinggi-tingginya semua hal yang telah dia capai. Semua orang tidak lagi berpikiran tentang hal yang bisa dia capai, karena kesempatannya telah berhenti saat itu.

Dari kejadian itu, terpikir oleh gw bahwa hidup itu bercerita tentang masa lalu dan yang kita jalani saat ini. Ga ada cerita tentang masa depan, karena hal itu belum dan belum tentu terjadi. Smua orang berhak untuk bertindak spontan untuk hidupnya, karena menurut gw spontan itu lebih jujur daripada hal yang penuh pertimbangan. Sama halnya seperti pembalap yang tetap berani membalap walaupun mereka tahu itu berbahaya. Mereka tidak menjadikan balapan sebaai obsesi mereka. Balapan dijadikan hidup mereka. Hidup tanpa obsesi bukan berarti hidup tanpa arah, hidup tanpa arah bukan berarti tidak punya tujuan. Hidup pasti punya tujuan. Kalo hidup itu pilihan, pilihannya cuma ada 2, hidup dengan penuh penyesalan atau hidup dan menikmatinya. Masa depan memang penting, tapi bukanlah hal yang perlu dipikirkan, tapi sesuatu yang harus dicapai. Masa depan butuh tindakan bukannya pertimbangan. Jika hidup memang singkat, apa pantas kita habiskan dengan berpikir dan menimbang tanpa ada aksi dan menikmatinya?

*note : "BTW KOK GA NYAMBUNG YAH KAYANYA"

Arrivederci Marco Simoncelli